People with Dyslexia |
Apa Itu
Disleksia?
Tahukah Anda
bahwa para pesohor seperti Albert Einstein, Sir Winston Churchill, Tom Cruise,
Walt Disney, dan Lee Kuan Yeuw adalah penyandang disleksia? Mereka orang-orang
yang mengalami kesulitan mengolah kata. Namun, dalam prosesnya, toh mereka bisa
menjadi “besar” karena tak menyerah pada keadaan. Mungkin belum banyak yang
mengetahui lebih dalam mengenai disleksia.
Disleksia berasal dari kata
Yunani yaitu “dys” yang berarti kesulitan dan “leksia” yang berarti kata-kata.
Dengan kata lain, disleksia berarti kesulitan dalam mengolah kata-kata. Ketua
Pelaksana Harian Asosiasi Disleksia Indonesia dr Kristiantini Dewi, Sp A,
menjelaskan, disleksia merupakan kelainan dengan dasar kelainan neurobiologis
dan ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat atau akurat
dalam pengejaan dan dalam kemampuan mengode simbol. Terdapat dua macam
disleksia, yaitu developmental dyslexia dan acquired dyslexia.
Developmental
Dyslexia merupakan
bawaan sejak lahir dan karena faktor genetis atau keturunan. Penyandang
disleksia akan membawa kelainan ini seumur hidupnya atau tidak dapat
disembuhkan. Tidak hanya mengalami kesulitan membaca, mereka juga mengalami
hambatan mengeja, menulis, dan beberapa aspek bahasa yang lain. Meski demikian,
anak-anak penyandang disleksia memiliki tingkat kecerdasan normal atau bahkan
di atas rata-rata. Dengan penanganan khusus, hambatan yang mereka alami bisa
diminimalkan.
“Disleksia itu menurut penelitian
sekitar 70 persen merupakan keturunan. Namun, sisanya 30 persen, berarti ada
faktor lain di luar genetis yang hingga saat ini belum diketahui apa itu
penyebabnya. Selain karena keturunan, acquired dyslexia itu awalnya
individu normal, tetapi menjelang dewasa mengalami cedera otak sebelah kiri dan
bisa menyebabkannya menjadi disleksia,” kata Kristiantini dalam Seminar
Nasional Disleksia, Sabtu (31/7/2010) di Jakarta.
Sejumlah ahli juga mendefinisikan
disleksia sebagai suatu kondisi pemrosesan input atau informasi yang
berbeda (dari anak normal) yang sering kali ditandai dengan kesulitan dalam
membaca yang dapat memengaruhi area kognisi, seperti daya ingat, kecepatan
pemrosesan input, kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi, dan
pengendalian gerak. Dapat juga terjadi kesulitan visual dan fonologis, dan
biasanya terdapat perbedaan kemampuan di berbagai aspek perkembangan.
Masalah yang juga bisa mengikuti
penyandang disleksia di antaranya konsentrasi, daya ingat jangka pendek (cepat
lupa dengan instruksi). “Penyandang disleksia juga mengalami masalah dalam
pengorganisasian. Mereka cenderung tidak teratur. Misalnya, memakai sepatu tetapi
lupa memakai kaus kaki. Masalah lainnya, kesulitan dalam penyusunan atau
pengurutan, entah itu hari, angka, atau huruf,” papar Kristiantini yang juga
seorang dokter anak.
Secara lebih detail, seperti
dikutip dari www.dyslexia-indonesia.org,
penyandang disleksia biasanya mengalami masalah-masalah, seperti :
1. Masalah
fonologi: Yang dimaksud masalah fonologi adalah hubungan sistematik antara
huruf dan bunyi. Misalnya mereka mengalami kesulitan membedakan ”paku” dengan
”palu”; atau mereka keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama,
misalnya ”lima puluh” dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan
masalah pendengaran, tetapi berkaitan dengan proses pengolahan input di
dalam otak.
2. Masalah
mengingat perkataan: Kebanyakan anak disleksia mempunyai level kecerdasan
normal atau di atas normal. Namun, mereka mempunyai kesulitan mengingat
perkataan. Mereka mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk
memanggilnya dengan istilah “temanku di sekolah” atau “temanku yang laki-laki
itu”. Mereka mungkin dapat menjelaskan suatu cerita, tetapi tidak dapat
mengingat jawaban untuk pertanyaan yang sederhana.
3. Masalah
penyusunan yang sistematis atau berurut: Anak disleksia mengalami kesulitan
menyusun sesuatu secara berurutan misalnya susunan bulan dalam setahun, hari
dalam seminggu, atau susunan huruf dan angka. Mereka sering ”lupa” susunan
aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya, misalnya lupa apakah setelah pulang
sekolah langsung pulang ke rumah atau langsung pergi ke tempat latihan sepak
bola. Padahal, orangtua sudah mengingatkannya bahkan mungkin hal itu sudah pula
ditulis dalam agenda kegiatannya. Mereka juga mengalami kesulitan yang
berhubungan dengan perkiraan terhadap waktu. Misalnya mereka mengalami
kesulitan memahami instruksi seperti ini: ”Waktu yang disediakan untuk ulangan
adalah 45 menit. Sekarang pukul 08.00. Maka 15 menit sebelum waktu berakhir,
Ibu Guru akan mengetuk meja satu kali”. Kadang kala mereka pun ”bingung” dengan
perhitungan uang yang sederhana, misalnya mereka tidak yakin apakah uangnya
cukup untuk membeli sepotong kue atau tidak.
4. Masalah
ingatan jangka pendek: Anak disleksia mengalami kesulitan memahami instruksi
yang panjang dalam satu waktu yang pendek. Misalnya ibu menyuruh anak untuk
“Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan,
lalu turun ke bawah lagi untuk makan siang bersama ibu, tapi jangan lupa bawa
serta buku PR Matematikanya,
ya”, maka kemungkinan besar anak disleksia tidak melakukan seluruh instruksi
tersebut dengan sempurna karena tidak mampu mengingat seluruh perkataan ibunya.
5. Masalah
pemahaman sintaks: Anak disleksia sering mengalami kebingungan dalam memahami
tata bahasa, terutama jika dalam waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua
atau lebih bahasa yang mempunyai tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia
mengalami masalah dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya
berbeda daripada bahasa pertama. Misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal
susunan diterangkan–menerangkan (contoh: tas merah). Namun, dalam bahasa
Inggris dikenal susunan menerangkan-diterangkan (contoh: red bag).
Sebuah studi baru pun mengklaim
telah menemukan satu cara untuk membantu mengatasinya yaitu memberi spasi pada
setiap huruf dari sebuah kata. Meskipun bukanlah obat, taktik ini dirasa mampu
membantu anak-anak penderita disleksia membaca lebih cepat dan melakukan
kesalahan lebih sedikit ketika membaca.
Terapis setuju bahwa salah satu solusi jangka panjang terbaik untuk kondisi kesulitan membaca bagi penderita disleksia adalah praktik yang dilakukan secara kontinyu. Tetapi karena membaca merupakan aktivitas yang sangat membuat frustasi bagi anak-anak penderita disleksia maka praktik ini pun sulit dilakukan.
"Konsekuensinya, anak-anak penderita disleksia pun sangat sedikit yang bisa membaca. Kami memberikan perbandingan bahwa sekali membaca seorang anak penderita disleksia harus menghabiskan waktu selama setahun, sedangkan pembaca normal bisa melakukannya hanya selama 2 hari," ungkap peneliti Johannes C. Ziegler, PhD, direktur penelitian di laboratorium psikologi kognitif, Aix-Marseille University in Marseille, Prancis.
"Jika huruf-huruf ini jaraknya terlalu dekat satu sama lain maka fiturnya menjadi bercampur sehingga Anda takkan mampu mengatakan huruf apa itu sebenarnya," kata Ziegler seperti dilansir dari WebMD, Selasa (5/6/2012).
Untuk studi ini, peneliti menguji apakah jarak huruf-huruf dalam satu kata yang dispasi sedikit terpisah pada suatu halaman dapat meningkatkan kecepatan membaca dan akurasi 74 anak-anak Italia dan Perancis yang telah didiagnosis menderita disleksia.
Lalu anak-anak itu diminta untuk membaca dua blok dari 24 kalimat pendek dalam bahasa ibunya. Kalimat-kalimatnya pun tidak berkaitan, hal ini untuk mencegah partisipan menggunakan isyarat kontekstual untuk memahaminya.
Kata-kata itu dicetak dalam huruf Times-Roman berukuran 14. Satu blok teks menggunakan huruf-huruf yang dispasi biasa. Namun pada blok kedua, spasi antarhuruf menjadi 2,5 poin.
S e p e r t i i n i l a h k e l i h a t a n n y a
Anak-anak dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini pun diminta untuk membaca setiap blok teks secara terpisah. Setiap sesi membaca diberi jarak dua minggu agar partisipan kesulitan mengingat apa yang dibaca sebelumnya.
Beberapa anak ditugaskan untuk membaca teks yang spasinya dipisah terlebih dulu. Namun sebagian lainnya diminta untuk membaca teks normal terlebih dulu.
Dalam kedua kasus, anak-anak disleksia membuat lebih sedikit kesalahan ketika membaca teks yang spasinya dipisah. Memberi jarak atau spasi antarhuruf mengakibatkan akurasi rata-ratanya meningkat dua kali lipat.
Ketika hasil individunya dikaji lebih mendalam, peneliti menemukan bahwa anak-anak yang dianggap sebagai pembaca terburuk justru menjadi pembaca yang paling diuntungkan dengan spasi huruf yang lebih luas. Pemberian spasi ekstra antarhuruf juga membantu anak-anak disleksia membaca 20 persen lebih cepat.
Terapis setuju bahwa salah satu solusi jangka panjang terbaik untuk kondisi kesulitan membaca bagi penderita disleksia adalah praktik yang dilakukan secara kontinyu. Tetapi karena membaca merupakan aktivitas yang sangat membuat frustasi bagi anak-anak penderita disleksia maka praktik ini pun sulit dilakukan.
"Konsekuensinya, anak-anak penderita disleksia pun sangat sedikit yang bisa membaca. Kami memberikan perbandingan bahwa sekali membaca seorang anak penderita disleksia harus menghabiskan waktu selama setahun, sedangkan pembaca normal bisa melakukannya hanya selama 2 hari," ungkap peneliti Johannes C. Ziegler, PhD, direktur penelitian di laboratorium psikologi kognitif, Aix-Marseille University in Marseille, Prancis.
"Jika huruf-huruf ini jaraknya terlalu dekat satu sama lain maka fiturnya menjadi bercampur sehingga Anda takkan mampu mengatakan huruf apa itu sebenarnya," kata Ziegler seperti dilansir dari WebMD, Selasa (5/6/2012).
Untuk studi ini, peneliti menguji apakah jarak huruf-huruf dalam satu kata yang dispasi sedikit terpisah pada suatu halaman dapat meningkatkan kecepatan membaca dan akurasi 74 anak-anak Italia dan Perancis yang telah didiagnosis menderita disleksia.
Lalu anak-anak itu diminta untuk membaca dua blok dari 24 kalimat pendek dalam bahasa ibunya. Kalimat-kalimatnya pun tidak berkaitan, hal ini untuk mencegah partisipan menggunakan isyarat kontekstual untuk memahaminya.
Kata-kata itu dicetak dalam huruf Times-Roman berukuran 14. Satu blok teks menggunakan huruf-huruf yang dispasi biasa. Namun pada blok kedua, spasi antarhuruf menjadi 2,5 poin.
S e p e r t i i n i l a h k e l i h a t a n n y a
Anak-anak dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini pun diminta untuk membaca setiap blok teks secara terpisah. Setiap sesi membaca diberi jarak dua minggu agar partisipan kesulitan mengingat apa yang dibaca sebelumnya.
Beberapa anak ditugaskan untuk membaca teks yang spasinya dipisah terlebih dulu. Namun sebagian lainnya diminta untuk membaca teks normal terlebih dulu.
Dalam kedua kasus, anak-anak disleksia membuat lebih sedikit kesalahan ketika membaca teks yang spasinya dipisah. Memberi jarak atau spasi antarhuruf mengakibatkan akurasi rata-ratanya meningkat dua kali lipat.
Ketika hasil individunya dikaji lebih mendalam, peneliti menemukan bahwa anak-anak yang dianggap sebagai pembaca terburuk justru menjadi pembaca yang paling diuntungkan dengan spasi huruf yang lebih luas. Pemberian spasi ekstra antarhuruf juga membantu anak-anak disleksia membaca 20 persen lebih cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar